Psikologi Di Balik Orang Yang Percaya Bumi Datar |
SpaceNesia - Jika Anda pernah berada di kubu yang mengakui bentuk bumi bulat, mungkin Anda sudah mengalami momen frustrasi saat berdebat dengan seseorang yang berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa bumi datar. Dalam pandangan mereka, argumen apa pun yang Anda kemukakan sering kali dianggap sebagai bagian dari pandangan konspirasi yang dikaitkan dengan NASA dan sejenisnya..
Baca Juga : 10 Fakta Unik Luar Angkasa
Pada era abad ke-21 ini, apakah dia dan kelompok yang mendukung pandangan bumi datar benar-benar mengambil keyakinan mereka secara serius? Jika memang demikian, apa yang mendasari fenomena ini?
Psikologi di Balik Keyakinan Terhadap Teori Bumi Datar
Asal-usul Pemahaman tentang Bentuk Bumi Bulat:
Pemahaman mengenai bentuk bumi bulat sebenarnya telah ada sejak zaman Yunani kuno, meskipun catatan ilmiah pertama dibuat oleh seorang peneliti Yunani yang belajar di Mesir bernama Eratosthenes. Ia berhasil membuktikan bahwa bumi ini berbentuk bulat dan mengukur diameternya dengan tepat hanya menggunakan tongkat dan Matahari.
Pemahaman ini kemudian diikuti oleh para ilmuwan lainnya, seperti Copernicus, Galileo, Kepler, Isaac Newton, Albert Einstein, dan lain-lain. Mereka melakukan penelitian dalam bidang fisika, geografi, dan astronomi jauh sebelum NASA terbentuk.
Namun, beberapa individu yang mempercayai teori bumi datar (Flat Earth/FE) cenderung menyalahkan berbagai entitas seperti NASA, Freemason, Illuminati, dan lain-lain, sebagai kambing hitam atas ketidakmampuan menjelaskan secara ilmiah asumsi bumi datar.
Viren Swami, seorang profesor psikologi dari Inggris, menjelaskan bahwa "secara umum, orang yang mempercayai teori konspirasi mungkin memiliki gangguan mental atau mengalami psikopatologi tertentu." Alasan yang masuk akal mengapa mereka percaya pada teori konspirasi ini adalah karena stres dan kurangnya pemberdayaan diri.
Setelah berinteraksi beberapa kali dengan kelompok ini dan mengamati argumen yang mereka sampaikan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Rendahnya Rasa Percaya Diri
Contohnya adalah penggunaan akun palsu dan gambar palsu, serta kecenderungan untuk menghindar ketika argumen memojokkan diri mereka. Individu dengan rasa percaya diri yang rendah sering merasa terisolasi dalam lingkungan sosial.
2. Keterbatasan Informasi
Seperti halnya setiap manusia, individu ini juga memiliki keterbatasan informasi. Beberapa mungkin hanya siswa SMP atau SMA jurusan IPS atau kejuruan, yang mungkin tidak memiliki akses ke buku-buku ilmiah atau kesempatan untuk belajar dengan profesor fisika. Mereka mungkin hanya mengandalkan media sosial seperti Facebook, Twitter, atau YouTube.
3. Kurangnya Perhatian
Kurangnya hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari (kurangnya teman, masalah dalam keluarga/sekolah/tempat kerja) membuat mereka mencari perhatian dalam dunia maya. Contohnya, ada sebuah posting di grup Facebook yang menggelitik: "Kenapa Superman bisa terbang jika ada gravitasi?" Padahal, kita semua tahu bahwa Superman hanyalah tokoh fiksi.
Namun, perlu diingat bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan akal logika, kemampuan berpikir, dan kesadaran untuk memilih. Beberapa dari mereka mungkin sedang mencari identitas atau merasa lelah. Biarkan saja, karena seseorang akan belajar jika dia benar-benar ingin belajar.
Pada akhirnya, suatu saat nanti mereka mungkin akan menyadari bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada perdebatan tentang bentuk bumi, baik itu bulat atau datar.